Selasa, 28 Oktober 2014

Refleksi Sumpah Pemuda 86 tahun Lalu

Hari ini tepat tanggal 28 Oktober yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, biasanya hari ini orang memposting, menulis sesuatu dalam akun jejaring sosialnya, minimal mengucapkan “Selamat Hari Sumpah Pemuda”, tetapi entah kenapa hari ini kok sepi yah, (atau jangan-jangan saya yang kurang mengamati medsos), saya sih bukan juga yang tipe mengucapakan selamat selimit, kadang-kadang sih suka mengucapkan, kalau lagi inget. Atau mungkin orang-orang sedang terkesima dan sibuk mengomentari jajaran kabinet baru..ups

Yaa lupakan soal mengucapkan selamat Hari Sumpah Pemuda, karena itu tidak terlalu penting juga. Yang terpenting sih bagaimana Refleksi dari Sumpah Pemuda 86 tahun yang lalu. Bagaimana meresapi setiap kata-kata yang akan biasa saja tapi mendalam jika dihayati dengan seksama. Begini kan yaa kata-katanya

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Bukan lagi masalah kata-katanya juga, tapi masalah perjuangan dan kebearanian para pemuda zaman dahulu yang membawa perubahan untuk bangsa saat itu dan terasa manfaatnya sampai sekarang.

Menyimak, mengamati pemuda-pemudi zaman dahulu entah kenapa saya terpesona dengan daya juangnya, sebut saja Marah Roesli (penulis novel siti nurbaya)  dalam novel terakhirnya yang berjudul Memang Jodoh, diceritakan dalam novel tersebut sewaktu muda beliau berani berkata yang intinya kalau tidak salah begini cmiiw “Bagaimana saya bisa mewujudkan cita-cita saya untuk negara ini kalau saya hanya dipusingkan oleh perkara kawin” dari kata-kata tersebut saya menyimpulkan betapa dia memikirkan negaranya diatas kepentingan pribadinya. Bahkan saat setelah menikah dia rela hidup terpencil bersama istri dan anak-anaknya demi menjadi penyuluh pertanian.

Sebut lagi Jamin Ginting, yang diceritkaan dalam 3 Nafas Likas, film terbaru saat ini. Dia menajdi PETA (Pemuda Tanah Air) dan berjuang dalam melawan penjajahan dengan perasaan penuh cinta, bahkan saking sibuknya melawan penjajah, dia hanya sempat menulis surat Cinta pada sang tambatan hati Likas Tarigan sambil memegang senjata dan badan berlumur darah dan keringat. Bahkan saat itu sebut saja Likas Tarigan yang dalam masa-masa sulit ikut bersama suaminya dalam menghadapi penjajah  dia masih sembunyi-sembunyi mengajar anak-anak dipinggir sungai, dia masih semangat menunaikan kewajibannya sebagai seorang guru. Dan ada lucu sekaligus haru juga dari Jamin Ginting, saat Indonesia sudah merdeka dja merasa tak ada pekerjaan, dia bilang saya ini biasa angkat sejata untuk memperjuangkan nasib negara.

Melihat sosok Habibie pun begitu saya terpesona dan terharu ketika pesawat pertama buatannya jadi dan siap terbang, saya mentesakan air mata ketika nonton adegan tersebut di filmnya, bahkan dalam sakit parahnya pun Habibie muda menulis surat yang kalau ga salah isinya kurang lebib begini "Izinkan saya hidup Tuhan karena saya berjanji akan memajukan bangsa dan tanah air ku" ahh ini juga adegan yang bikin saya menangis. Betapa bisanya mereka-meraka pemuda pemudi zaman dulu dalam masa sulitnya, dalam darah yg bercucur, dalam gencatan senjata, bahkan dalam keadaan nafas yang akan habis pun berani berjanji untuk memajukan bangsa dan tanah airnya.
Selagi momen sumpah pemuda ini masih hangat ga ada salahnya kita sebagai pemuda pemudi indonesia masa kini mencoba untuk terus berkarya, siapa tau secuil dari karya kita akan bermanfaat untuk kemajuan bangsa ini...MERDEKA